UU No.23 tahun 2006 & PP No.37 tahun 2007

KEROKHANIAN SAPTA DARMA - SCB. Cerme Gresik - JATIM ( UU No.23 tahun 2006 & PP No.37 tahun 2007 )

Selasa, 09 November 2010

Apa yang dimaksud “agama budi”?

Banyak tafsir tentang “agama budi”, dan saya juga berhak memberi makna terhadapnya, sesuai dengan pemahaman saya saat ini. Agama budi, bukanlah agama dengan format seperti agama-agama besar yang selama ini “menguasai” umat manusia dengan doktrin dan dogma yang diturunkan dari Kitab-kitab (yang dianggap) suci, yang dianggap/diyakini berisi perkataan Tuhan. (dan jelas, semua “kitab suci” itu IMPOR dari bangsa lain)

BUDI artinya PIKIRAN, ini tentang JIWA dan KESADARAN. Kesadaran manusia akan kemanusiaannya. Kesadaran bahwa manusia menjadi ada karena “diadakan” oleh YANG SUDAH ADA (almighty god) diluar diri manusia. (karena tidak mungkin ada berasal dari ketiadaan). Ini jelas bukan atheisme (anti Tuhan), tetapi juga bukan ber-Tuhan dengan cara (ritual-ritual) seperti yang diajarkan oleh agama-agama mainstream.

Orang Jawa memahami Tuhan sebagai “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan dari semua yang ada), yang “tan kena kinaya apa, tan kena winirasa” (tidak bisa diserupakan dengan apapun, tak bisa dirasakan –dengan panca indra); yang “adoh tanpa wangenan, cedhak datan senggolan” (jauh tanpa batas, -namun- dekat tanpa bersinggungan).

Konsepsi bahwa manusia itu “sangkan-e” (berasal) dari Tuhan dan “paran-e” (–akan– kembali) kepada Tuhan, karena menyadari bahwa manusia adalah bagian dariNya, atau ada “Dia” dalam diri manusia, namun manusia BUKAN Dia. (pangeran iku ana ing awakmu, nanging awakmu iku dudu pangeran).

Dalam diskusi dengan salah seorang “bangkokan” Kawruh Jiwa (Kawruh Jiwa adalah ‘ajaran’ Ki Ageng Suryamentaram), ketika saya bertanya tentang “awal segala sesuatu”, disebutkan bahwa awal segala sesuatu adalah KEHENDAK (karep), dan ketika saya kejar dengan pertanyaan, “kehendak itu apa?”. Jawabnya: “Kehendak itu ADA, SANG ADA”.

(sebagai orang yang mempelajari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, saya meng-amin-i pendapat itu, karena di Kitab Yohanes 1:1 ditulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Elohim dan Firman itu adalah Elohim.”, dan saya bisa memahami bahwa Firman = Kehendak, dan Kehendak itu ADA, dan (Sang) ADA = Elohim itu sendiri.)

Benarkah SANG ADA itu adalah Elohim (Tuhan, sesembahan, yang patut disembah)?

Jika kita lihat dalam Kitab Keluaran (Perjanjian Lama), dikisahkan ketika Nabi Musa bertemu muka dengan Tuhan, dan bertanya kepadaNya, “Siapakah Engkau Tuhan?”, Tuhan menjawab, “Ehyeh Asyer Ehyeh” (AKU ADA YANG AKU ADA. — yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia secara kurang tepat menjadi “AKU ADALAH AKU”) — bahwa kemudian “SANG ADA” ini disebut dengan tetragramaton “YHWH”, itu soal “nama” (bahasa), bukan esensi dari “SANG ADA” itu. Sebab nama bukan yang dinamakan.

Tentang YANG ADA (SANG ADA) ini juga terkonfirmasi dalam Kitab Wahyu 1:4 (Perjanjian Baru), Rasul Yohanes menyebutkan: “dari Dia, YANG ADA dan YANG SUDAH ADA dan yang akan datang” (kata “yang akan datang”, dapat saya ganti dengan “YANG AKAN ADA”).

Dalam Kawruh Jiwa, KESADARAN diwujudkan dengan memahami “AKU” (aku tukang nyawang), disamping KRAMADANGSA (tubuh/badan dan semua keinginan badaniah/jasmani). Kesadaran akan “AKU” itu yang akan menuntun kepada kesadaran (berikutnya) tentang hidup dan kehidupan manusia, yang secara singkat dikonsep dalam Kawruh Jiwa dalam prinsip hidup 6-SA (SAbutuhe, SAcukupe, SAperlune, SAbenere, SAmestine dan Sapenake). Sayangnya 6 SA ini sering disalah mengerti maknanya oleh orang-orang di luar komunitas Kawruh Jiwa, khususnya di SA yang ke-enam “SApenake”. Dianggap orang-orang Kawruh Jiwa memiliki pandangan bahwa hidup itu “seenaknya saja”. Padahal bukan begitu maksudnya, karena Ki Ageng Suryamentaram mengajarkan bahwa “penak iku yen ngepenakke liyan” (enak itu jika meng-enak-kan liyan/pihak lain), jadi bukan seenaknya saja, tanpa memperhatikan ‘enak’nya liyan.

Dalam Kejawen, KESADARAN tertinggi dicapai ketika manusia dalam kondisi “MANUNGGAL KALIYAN GUSTI”, oleh sebab itu “manunggaling kawula gusti” menjadi visi dalam olah Kejawen. Jika sudah manunggal, maka “pangeran ana ing awakmu” benar-benar dapat dirasakan. Sudah barang tentu, jika “manunggal dengan pangeran”, maka manusia akan memancarkan sifat dan sikap (dari) SANG ADA (pangeran), karena telah menjadi bagian dari SANG ADA sendiri.

Dalam agama Buddha, KESADARAN TERTINGGI, adalah hal yang hendak dicapai dari seluruh laku spiritual. Simbolisme pencapaian spiritual, dilambangkan dengan baik melalui relief yang ada di Candi Borobudur, mulai tingkat pertama KAMADATU, RUPADATU, hingga ARUPADATU (kekosongan) di puncak. Arupadatu adalah gambaran Nirvana menurut ajaran Buddha, dimana di sana tidak ada nafsu dan keinginan.

Kamadatu dan rupadatu, jika dihubungkan dengan konsepsi di Kawruh Jiwa, merupakan bagian dari Kramadangsa, yang seharusnya tidak mengendalikan hidup manusia, namun justru harus dikelola, sehingga sebagai manusia yang hidup bersama manusia lain (dan alam semesta), menjadi baik, nyaman, bahagia. Karena, ketika karep (keinginan – nafsu) yang mengendalikan, yang terjadi adalah kekacauan, ketakbahagiaan, yaitu ketika keinginan seseorang bertemu dengan keinginan yang berbeda dari orang lain, jadinya “sulaya”. Sebab, pada tingkat “kramadangsa” setiap manusia berbeda keingingannya, kesamaan manusia ada di tingkat “aku”, yang didalam Kejawen “aku” itu adalah bagian dari pangeran (SANG ADA). Semua manusia sama, dan karenanya disebut SESAMA, karena sama-sama menjadi bagian dari SANG ADA.

Manusia yang membenci, atau memusuhi SESAMA MANUSIA, adalah karena TIDAK SADAR, bahwa ada DIA yang SAMA, yang ada didalam diri tiap-tiap manusia.

Mengutip kata-kata Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma:
“Manusia yang masih terikat oleh tindakan menemukan Tuhan dalam api upacara, manusia yang masih terikat perasaan menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kesadarannya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang telah terbangun kesadarannya menemukan Tuhan di mana-mana.”

Tuhan, Dia ADA dimana-mana, dimana terdapat “ADA”, disitu ada DIA, bahkan dia ADA dalam KETIADAAN, (karena sesungguhnya ketiadaan itu tidak ada, ketiadaan adalah juga kondisi ada, yaitu ada ketiadaan, hahaha….).

Akhir kata, ketika agama dan berbagai doktrin dan dogma serta ritual-ritualnya ternyata tidak mampu membuat kehidupan ini lebih baik, nampaknya KESADARAN bahwa DIA ADA, dan ADA DIMANA-MANA, itu cukup untuk mengendalikan hidup dan kehidupan kita bersama, ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan hidup bersama alam.

Singkatnya begini, ketika kita SADAR bahwa DIA ADA (dan DIA ADA DIMANA-MANA), misalnya:
Apakah kita akan berbuat jahat kepada manusia lain?
Apakah kita akan semena-mena terhadap alam?
Apakah kita akan melanggar norma-norma?
Apakah kita akan menyia-nyiakan hidup?
Apakah kita akan mengasihi sesama?


Tidak perlu repot dengan tata-cara ibadah, tidak perlu repot menentukan arah kemana kita menghadap DIA, karena DIA ada DIMANA-MANA, tidak perlu repot dengan perangkat pengeras suara dan mengatur volume suara “doa”, karena DIA juga ada di hati kita. Tak perlu repot jauh-jauh pergi untuk datang ke rumahNYA, karena DIA juga ada disini. Tak perlu repot menjadi pembelaNYA, dengan menyalahkan orang lain, karena DIA juga ada didalam diri orang lain itu. Tak perlu repot (ijin) mendirikan “rumah ibadah”, karena ibadah kita dapat dilakukan dimana saja, kapan saja. Kalaupun “rumah ibadah” dibangun, mungkin perlu untuk menyediakan tempat berdiskusi tentang kehidupan yang lebih baik, bukan tempat untuk mengajarkan doktrin/dogma atau tempat menjalankan ritual-ritual yang dianggap paling berkenan bagi DIA, yang memanipulasi PIKIRAN kita, seolah-olah untuk beribadah seperti itulah kita hidup di dunia ini.

DIALAH SANG ADA yang SUDAH ADA, ADA dan AKAN TETAP ADA, dan SANG ADA itu ada DIMANA-MANA, milik semua orang YANG SADAR.

(tidak sepakat ya boleh, dan silakan melanjutkan hidup dengan agama beserta doktrin/dogma dan ritual-ritualnya, dan maaf, saya kurang tertarik mengikutinya,– walau kadang kesadaran saya juga rendah, bahkan kadang tidak sadar bahwa DIA ADA DISINI.)

Petrus Wijayanto (PWijayanto Wit)

Salatiga, 7 November 2010

lanjutan Note ini: “Sabdo Palon, Islam Jawa, dan Merapi” di http://www.facebook.com/note.php?note_id=454326153550

Tidak ada komentar:

Posting Komentar