Hakikat pendidikan menurut Ki Ageng Suryamentaram, kurang lebih: “upaya pendidik terhadap yang dididik, agar yang dididik mampu memahami dirinya sendiri.” Bagi Ki Ageng Suryamentaram, yang paling penting adalah orang dapat memahami dirinya sendiri. Memahami diri sendiri, antara lain juga menyadari bahwa diri ini sebenarnya belum mengetahui banyak hal, sehingga terdorong untuk terus belajar. Seakan menjadi dalil, bahwa makin banyak belajar, akan menyadari bahwa makin banyak hal yang belum dketahui.
Hari ini pada rubrik Ilmu Pengetahuan & Teknologi di harian Kompas dimuat sebuah artikel tentang beberapa hal yang hingga saat ini belum terungkap oleh manusia. Yaitu: (untuk lebih jelas silakan buka www.livescience.com)
– Kaitan pikiran dengan tubuh
– Daya batin dan ESP (extra sensory perception)
– Pengalaman mendekati ajal
– “Deja vu”
– Hantu
– Hilang tak terlacak
– UFO (unidentified flying objects)
– Intuisi
– Kaki besar (makhluk “big foot”)
– Dengungan taos (di kota Taos, New Mexico)
Itu hanya sebagian dari banyak hal di dunia ini yang belum diketahui oleh manusia. Banyak manusia hanya MERASA tahu, tetapi kalau mau jujur, benar-benar jujur, sebetulnya TIDAK tahu, dan yang paling banyak adalah hanya yakin terhadap sesuatu. Ayat di Kitab Suci yang menyebutkan “…. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20:29), menjadi ‘ayat penghiburan’ bagi rasa puas terhadap keyakinan yang tidak didasari oleh ke-tahu-an. Bahkan ayat itu dapat menjadi pembenar bagi ketidakmautahuan, karena yang penting adalah ke-percaya-an atau ke-yakin-an.
Paling jelas adalah di bidang agama/kepercayaan/keyakinan. Orang begitu yakin terhadap sesuatu yang dipercayainya, tanpa tahu, bahkan tanpa mau tahu apakah yang dipercayainya itu benar atau tidak benar. Tragisnya, kebenaran yang diklaim oleh sekelompok orang tertentu kadang dipaksakan untuk menghakimi kelompok lain yang tidak sepaham, bahkan dengan kekerasan. Berulangkali terjadi, pembunuhan akibat perbedaan keyakinan, orang yang berbeda keyakinan layak dibunuh, layak dilenyapkan dari muka bumi, seakan bumi ini miliknya sendiri. Bahkan dengan bangga sangat yakin mengklaim bahwa orang yang berbeda keyakinan tidak layak masuk surga, seakan surga itu hak milik (kelompok)nya.
Padahal, “Apakah surga itu benar-benar ada?” “Benar ada”, itulah keyakinan banyak orang, orang yang yakin atau merasa tahu bahwa surga itu benar-benar ada. Jika membaca buku yang menggambarkan tentang surga, misalnya buku “Indahnya Surga Islam” yang menggambarkan surga dengan bidadari-bidadari cantik yang siap memberikan kenikmatan, dibandingkan dengan buku karangan Choo Thomas, “Surga itu Nyata”, yang menggambarkan antara lain surga dengan emas dan permata, banyak buah-buah segar yang memuaskan, jelas jauh berbeda dalam menggambarkan surga. Mana yang benar? Tidak tahu! Jangan-jangan keduanya tidak ada yang benar, atau salah satu tidak benar, atau kedua-duanya benar, artinya memang ada surga yang berbeda. Hm.. entahlah, tidak tahu, dan mungkin memang tidak perlu tahu sekarang.
Contoh yang paling mudah dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaktahuan umat beragama adalah dalam agama Kristen dan Islam. Dalam agama Kristen, orang-orang hanya tahu tulisan di kayu salib “INRI” (bahasa Yunani), tapi tidak tahu 2 tulisan lainnya, padahal jelas ditulis di Kitab Suci bahwa ada 3 tulisan masing-masing dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani. (Yohanes 19:20). Orang Kristen juga tidak tahu apa sebenarnya yang dilakukan Yesus di usia 12-30 tahun, karena Kitab Suci tidak mencatat kisahnya. Ada yang menduga Yesus pergi ke Tibet, ada yang menduga Yesus tinggal bersama orang tuanya di Nasareth, ada yang menduga Yesus belajar di Beth Midrash. Semua itu dugaan.
Dalam agama Islam juga tidak jelas bagaimana akhir hidup Nabi Isa, setelah lolos dari penyaliban, karena menurut Al Quran, Isa tidak mati disalib. Jadi kalau ditanyakan kepada orang Muslim, bagaimana akhir hidup Nabi Isa, mereka tidak akan tahu, karena tidak ada tulisan mengenainya baik di Quran maupun di Hadits. Jika ada yang menjelaskan, itu juga hanya dugaan. Dalam agama-agama lainnyapun sama saja, ada beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan oleh doktrin dan dogma agama. Agama bukan jawaban atas semua ketidaktahuan umat manusia. Mungkin yang bisa menjawab hanya Tuhan, bukan agama.
Namun, hidup dalam ketidaktahuan, juga pantas disyukuri, patut dinikmati. Jika semua hal harus diketahui, manusia akan mati dalam ke-penasaran-an. Ilustrasi yang diberikan oleh Sang Buddha, kepada seorang biksu yang hampir putus asa karena tidak mendapat jawaban atas beberapa pertanyaannya, cukup bagus untuk menunjukkan bahwa selama hidupnya manusia tidak harus mengetahui semua hal. Si biksu berkata, “Jika engkau dapat menjelaskan hal-hal ini, aku akan melanjutkan menjadi biksu, jika tidak, aku akan pergi.” Sang Buddha menjawab, “Apakah aku menjanjikan semua penjelasan ini ketika kau pertama kali bergabung dengan kami? Atau kau tetapkan sendiri bahwa kau harus mengetahuinya?” “Tidak”, jawab si calon biksu. “Kalau begitu dengarkanlah. Andaikan ada seorang terluka oleh anak panah. Sewaktu tabib tiba orang itu berkata, “Jangan tarik anak panah ini sampai aku tahu siapa yang menembakkannya, dari pohon apa panah ini dibuat, siapa yang membuatnya,dan jenis busur apa yang digunakan.” Orang ini tentu akan mati sebelum dia menemukan jawabnya.
Mungkin benar, bahwa tidak semua hal harus kita ketahui, tapi yang perlu diingat adalah jika berada dalam kondisi ketaktahuan, tidak perlu bersikap seolah-olah tahu segala hal, karena itu adalah sikap yang tidak bijaksana. Ingat kembali, dialog antara ‘Ananda’ dengan Sang Buddha, ketika Andanda menganggap dirinya sudah tahu tentang Sang Buddha:
‘Ananda’ berkata kepada Sang Buddha, “Belum pernah ada guru sebesar engkau dan tak akan pernah ada seorang guru sebesar engkau di masa mendatang.”
Sang Buddha lalu bertanya, “Apakah engkau mengenal semua yang telah mengalami pencerahan, para buddha di masa lampau?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Apakah engkau mampu mengetahui semua buddha di masa depan?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Dan apakah kau mengetahui sepenuhnya pikiran buddha yang satu ini?”
“Tidak Yang Mulia. Aku bahkan tidak sepenuhnya mengetahui pikiranmu.”
“Lalu, bagaimana mungkin engkau berani membuat pernyataan seperti itu? Lebih baik kau bicara hal yang engkau ketahui daripada menebak-nebak dengan bodoh.” (Majjhima Nikaya)
Mari kita nikmati ketidaktahuan kita, namun jangan sampai terlena dalam kenikmatan ketidaktahuan, karena mungkin lebih nikmat jika tahu. Mari terus belajar, agar semakin banyak hal yang diketahui, dan kalau sudah tahu, mari di-share kepada sesama manusia, tanpa perlu menghakimi kepada yang belum tahu. Namun diperlukan kebijaksanaan, jika hendak men-share pengetahuan kepada orang lain, karena ada waktu untuk bicara, ada waktu untuk diam, ada waktu berkata-kata dan ada waktu untuk menahan diri dari berkata-kata, ada yang perlu disampaikan, ada yang tidak perlu disampaikan. Ada waktu untuk membaca, ada waktu untuk berkomentar, dan anda sudah membaca sampai bagian ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar