UU No.23 tahun 2006 & PP No.37 tahun 2007

KEROKHANIAN SAPTA DARMA - SCB. Cerme Gresik - JATIM ( UU No.23 tahun 2006 & PP No.37 tahun 2007 )

Selasa, 09 November 2010

Aku mencari arti “AGAMA”

Bermula dari ngobrol tentang pertemuan Kawruh Jiwa yang terpaksa tidak bisa saya hadiri, dan mengingat kembali diskusi dengan beberapa teman beberapa waktu yang lalu, agak lama saya googling untuk mencari tahu arti “gama”. Sekian lama saya memahami bahwa agama berasal dari kata a dan gama. Sekian banyak halaman website, memberi informasi bahwa GAMA artinya kacau, bergerak, berubah, dan semacamnya. Agama diartikan TIDAK kacau, karena “a” =tidak.

Benarkah itu? Benar, jika mengacu pada banyak sumber di internet. Tetapi apakah yang banyak memang selalu benar? Belum tentu.

Ternyata, harapanku menemukan arti lain dari “gama’, terjawab juga. Saya temukan tulisan yang menyebutkan bahwa gama berasal dari bahasa Jawa (kuno) artinya PERATURAN. Ber-gama, menjalankan gama, atau agama artinya “ber-peraturan”, atau “memiliki peraturan” atau “memenuhi peraturan”. Kata “a”disini bukan berarti TIDAK, melainkan sebuah “sandangan” yang berarti “memiliki”.

Apakah benar bahwa kata “a” bukan berarti “tidak”?

Ya.. ada sebuah lagu berbahasa Jawa yang ada kata “asukarena“-nya,berasal dari kata a + sukarena, artinya MEMILIKI KESUKAAN/keceriaan.

Contoh lain, ada kata ateges berasal dari kata a + teges,artinya MEMILIKI MAKNA atau MEMILIKI ARTI.

Jadi, make a sense juga ketika kata “a”, bukan berarti tidak,melainkan “memiliki” atau “ber”

OK, nampaknya saya harus rela meninggalkan pemahaman yang lama bahwa agama artinya tidak kacau. Bahwa “makna” tidak kacau dengan “ber-peraturan” itu hampir sama,namun dalam studi kata, tentu tidak bisa dipandang sama begitu saja.

Jika agama artinya memiliki peraturan, artinya ada tatacara, ada norma, ada “pakem”, ini dapat menjelaskan mengapa simbol pencapaian spiritual tertinggi dalam kepercayaan “kuno” adalah LINGGA dan YONI. Lingga (penis) dan yoni (vagina), melambangkan HUBUNGAN SEKSUAL antara PRIA dan WANITA (maaf.. homoseksual dan lesbian tidak diperhitungkan, hahaha).

Kami pernah diskusi soal hubungan sexual sebagai lambang puncak pencapaian spiritual. Saya sudah agak lupa, tapi kalau tidak salah, hubungan seksual adalah syarat dari PROKREASI (bukan rekreasi lho..), itu adalah syarat terjadinya KEHIDUPAN, jadi sexual intercourse adalah awal mula (sangkaning dumadi). Tentu, yang dimaksudkan bukan soal ORGASME-nya, namun adanya pertemuan sperma dan sel telur, sebagai awal mula kehidupan.

Walau orgasme adalah puncak pencapaian hubungan seksual, namun inti hubungan seksual bukan orgasme-nya, tetapi mempertemukannya sperma dan sel telur sebagai bahan pembentuk keHIDUPan. HIDUP, adalah inti dari semua perjalanan pengembaraan setiap mahkluk di alam semesta ini. Kita bisa melakukan apapun, karena kita (masih) HIDUP.

(tentu kemajuan teknologi untuk merekayasa kehidupan,misalnya bayi tabung, kloning, dsb, akan mengacaukan filosofi ini).

Hubungan seksual, dalam bahasa Jawa disebut SANGGAMA (senggama), menjadi make a sense, bahwa sanggama yang dilambangkan lingga dan yoni, adalah lambang pencapaian spiritual tertinggi. (Ingat kata agama, yang berarti “memiliki peraturan”)

Agama, yang dimaknai “memiliki peraturan”, adalah sebuah “kata benda”, sebuah keadaan (spiritual) yang hendak dicapai manusia dalam hidupnya. Orang ber-agama, adalah orang yang TERATUR, TERTIB, bukan yang hidup SEMAUNYA, demikian juga SANGGAMA, sebuah lambang (awal) KETERATURAN (kehidupan) ini.

Teratur atau tertib untuk apa? Untuk mencapai tingkatan spiritual yang tinggi. Dalam kepercayaan Jawa, untuk mencapai manunggaling kawula gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan. Tanpa keteraturan dan ketertiban, tingkat spiritual yang tinggi mustahil dapat dicapai.

Manunggaling kawula gusti ini-pun dipahami bermacam-macam. Dari pemikiran Syeh Siti Jenar, manunggaling kawula gusti dapat diartikan bahwaTuhan menyatu dalam diri manusia, sehingga dalam diri manusia ada “unsur” ke-Tuhan-an. Ketika Tuhan ada dalam diri manusia (diri sendiri), kemudian dipahami secara ekstrim, tidak perlu menyembah Tuhan yang ada di “sana”, karena dalam diri sendiri sudah ada Tuhan. Paham ini mirip dengan paham gnostik, yang mengajarkan bahwa manusia adalah ‘pecahan yang maha kuasa”, ada unsur Tuhan dalam diri manusia.

Namun pemahaman “tidak perlu menyembah Tuhan” ini sebenarnya keliru juga, karena dalam filsafat Jawa, ada ungkapan, “pangeran iku ana ing awakmu, nanging aja pisan-pisan nganggep awakmu iku pangeran” (Tuhan itu ada didalam dirimu, namun jangan sekali-sekali menganggap dirimu itu Tuhan.) Artinya orang Jawa masih tetap memahami bahwaTuhan adalah sesuatu yang ilahi yang JUGA ada di luar diri manusia. Orang Jawa tidak menggambarkan Tuhan sebagai SOSOK tertentu, namun hanya memahamiNYA sebagai “sangkan paraning dumadi” –asal dan tujuan semua yang ada–, yang tidak bisa dibayangkan, namun (DIA itu) ADA. Tan kena kinaya apa, tan kena winirasa; tidak bisa dibayangkan serupa dengan sesuatu, tak bisa dirasakan. Cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan; dekat tanpa bersinggungan, jauh tanpa batas.

Petrus Wijayanto (PWijayanto Wit)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar