percayakah anda bahwa pada dasarnya setiap manusia bisa merubah takdirnya masing - masing? Lalu apa sebenarnya defenisi takdir menurut anda? lantas bagaimana juga cara kita merubah takdir? Mari kita telusuri bersama...
Sahabat, apa sebenarnya arti takdir menurut anda? Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang takdir ada baiknya kita bedakan dulu antara takdir dengan nasib. Nasib atau garis tangan adalah sesuatu yang telah menjadi suratan Yang Diatas yang pada mulanya kita sendirilah yang harus berjuang merubahnya. Secara sederhana nasib itu bisa anda rubah tetapi takdir itu tidak bisa anda rubah lagi karena sudah digariskan sejak jaman azali oleh Yang Maha Kuasa. Anda sepakat dengan pernyataan saya ini?
Sepakat atau tidak yang jelas tanpa adanya keinginan dan motivasi yang kuat untuk merubah nasib -- dan mungkin takdir anda -- maka tak akan ada yang yang berubah dalam hidup anda. Kaya miskin, pintar bodoh, sukses atau gagal semuanya bergantung pada diri anda sendiri dan andalah yang menentukan nasib dan takdir anda di dunia ini.
Anda adalah satu - satunya manusia yang paling bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup anda sendiri. Bukan orang tua anda ataupun pasangan anda, tetapi hanya anda sendiri!
Tidak usah dulu cepat memvonis dan mengatakan bahwa "mungkin ini sudah menjadi nasib atau takdir saya" karena sangat boleh jadi ada sesuatu yang keliru yang perlu dibenahi, ada sesuatu yang mesti anda perbaiki dan pelajari agar hidup anda bisa perlahan bergerak berubah hingga mencapai apa yang anda impikan.
Karena itu sahabat mari kita lakukan sesuatu untuk hidup, nasib dan takdir kita agar hidup kita bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari selanjutnya...jangan biarkan opini orang lain menjadi pengaruh dan penggerak dalam hidup anda. Jadikan diri anda penentu kesuksesan anda sendiri serta contoh bagi kesuksesan orang lain... "mari nikmati hidup dengan melakukan langkah dan tindakan - tindakan kecil, karena suatu saat nanti jika anda menoleh ke belakang ternyata tindakan kecil tersebut tidaklah kecil"
Bagaimanapun sulitnya dan seberapa kurangnya kondisi kita kini mari selalu sikapi dengan cara yang positif dengan selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan kepada anda. Apapun itu dan betapapun kecilnya itu. Selalulah melihat kebawah bahwa sebenarnya masih banyak yang lebih berkekurangan ketimbang kita, anda dan saya.
Kalau anda senantiasa melihat keatas, melihat ke manusia lain yang lebih bagus, lebih kaya, lebih sukses dan lebih sempurna dari pada anda maka anda tidak akan pernah bisa bersyukur. Terimalah apapun yang Tuhan berikan kepada anda. Baik buruknya hidup pasti tidak mungkin terjadi tanpa suatu sebab, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Plato, sang filsuf Yunani kuno, "segala sesuatu yang diciptakan, tentu diciptakan untuk suatu sebab" dan Tuhan sudah menciptakan SEBAB untuk hidup anda pada awalnya, tetapi anda sendirilah yang harus MENCIPTAKAN SEBAB buat hidup anda pada akhirnya!
Mari mengambil jeda dari aktivitas dan rutinitas anda sehari - hari. Luangkanlah waktu setiap harinya untuk berkontemplasi, merenung dan menafakuri serta memikirkan apa yang telah anda lakukan dan hasilkan selama ini. Mari mengambil jarak dari diri anda sendiri untuk beberapa saat.
Karena menurut Stephen R. Covey, ada 3 wilayah sentral dalam hidup anda yang masing - masing memiliki haknya sendiri - sendiri...
1. Wilayah Publik, yaitu anda dan masyarakat serta lingkungan pendidikan dan kerja anda
2. Wilayah Privat, yaitu anda dan keluarga anda
3. Wilayah Rahasia, yaitu anda dan diri anda sendiri
Jujur, dalam 24 jam sehari semalam berapa besarkah persentase yang anda berikan kepada wilayah rahasia anda? Kalau selama ini wilayah ini masih dianaktirikan atau dikesampingkan maka sekaranglah saat yang tepat untuk memberikan hak kepada diri anda sendiri.
Setelah itu renungkan dan pikirkan secara mendalam tiga hal dalam hidup ini...yah hanya tiga hal saja. Apa tiga hal itu?
1. Siapa sebenarnya diri anda?
Pikirkan siapakah sebenarnya diri anda? apa potensi dan bakat unik yang Tuhan berikan kepada anda yang membedakan anda dengan semua manusia lain di dunia ini? Apa kualitas mental, emosional dan intelektual yang anda punya yang belum sepenuhnya anda asah selama ini, yang jika benar - benar anda asah bisa menjadi sebuah batu loncatan perubahan dalam hidup anda? Pikirkan dan temukan jawabannya.
2. Darimana anda berasal?
Renungkan darimana anda berasal, dari keluarga dan keturunan apa, dan apa pengaruhnya bagi anda yang membentuk diri anda hingga hari ini.
3. Kemana anda akan melangkah?
Setelah dua pertanyaan pertama anda jawab dengan sejujurnya, tibalah kini ke pertanyaan ketiga, kemana anda ingin melangkah dalam hidup ini? kemana anda ingin menuju, dan apa sebenarnya yang ingin anda capai dalam hidup ini?
3 pertanyaan ini harus anda jawab dengan jujur. Bukan dengan otak dan pikiran anda tetapi dengan hati anda. Yah, hati anda. Karena nalar dan pikiran boleh jadi menipu tetapi kata hati tidak pernah berbohong. Karena itu temukan jawabannya dengan berdialog dengan diri anda yaitu hati anda sendiri.
Sahabat blog pengembangan diri, mari sekali lagi mengambil jeda dan jarak dengan diri anda sendiri dan pikirkan 3 hal ini serta tentukan langkah bijak yang terbaik untuk hidup anda agar hidup anda yang hanya sementara dan sekali - kalinya ini tidak sia - sia dan semoga hidup anda bisa berarti buat sesama... Bagaimana menurut anda?
Hakikat pendidikan menurut Ki Ageng Suryamentaram, kurang lebih: “upaya pendidik terhadap yang dididik, agar yang dididik mampu memahami dirinya sendiri.” Bagi Ki Ageng Suryamentaram, yang paling penting adalah orang dapat memahami dirinya sendiri. Memahami diri sendiri, antara lain juga menyadari bahwa diri ini sebenarnya belum mengetahui banyak hal, sehingga terdorong untuk terus belajar. Seakan menjadi dalil, bahwa makin banyak belajar, akan menyadari bahwa makin banyak hal yang belum dketahui.
Hari ini pada rubrik Ilmu Pengetahuan & Teknologi di harian Kompas dimuat sebuah artikel tentang beberapa hal yang hingga saat ini belum terungkap oleh manusia. Yaitu: (untuk lebih jelas silakan buka www.livescience.com) – Kaitan pikiran dengan tubuh – Daya batin dan ESP (extra sensory perception) – Pengalaman mendekati ajal – “Deja vu” – Hantu – Hilang tak terlacak – UFO (unidentified flying objects) – Intuisi – Kaki besar (makhluk “big foot”) – Dengungan taos (di kota Taos, New Mexico) Itu hanya sebagian dari banyak hal di dunia ini yang belum diketahui oleh manusia. Banyak manusia hanya MERASA tahu, tetapi kalau mau jujur, benar-benar jujur, sebetulnya TIDAK tahu, dan yang paling banyak adalah hanya yakin terhadap sesuatu. Ayat di Kitab Suci yang menyebutkan “…. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20:29), menjadi ‘ayat penghiburan’ bagi rasa puas terhadap keyakinan yang tidak didasari oleh ke-tahu-an. Bahkan ayat itu dapat menjadi pembenar bagi ketidakmautahuan, karena yang penting adalah ke-percaya-an atau ke-yakin-an. Paling jelas adalah di bidang agama/kepercayaan/keyakinan. Orang begitu yakin terhadap sesuatu yang dipercayainya, tanpa tahu, bahkan tanpa mau tahu apakah yang dipercayainya itu benar atau tidak benar. Tragisnya, kebenaran yang diklaim oleh sekelompok orang tertentu kadang dipaksakan untuk menghakimi kelompok lain yang tidak sepaham, bahkan dengan kekerasan. Berulangkali terjadi, pembunuhan akibat perbedaan keyakinan, orang yang berbeda keyakinan layak dibunuh, layak dilenyapkan dari muka bumi, seakan bumi ini miliknya sendiri. Bahkan dengan bangga sangat yakin mengklaim bahwa orang yang berbeda keyakinan tidak layak masuk surga, seakan surga itu hak milik (kelompok)nya. Padahal, “Apakah surga itu benar-benar ada?” “Benar ada”, itulah keyakinan banyak orang, orang yang yakin atau merasa tahu bahwa surga itu benar-benar ada. Jika membaca buku yang menggambarkan tentang surga, misalnya buku “Indahnya Surga Islam” yang menggambarkan surga dengan bidadari-bidadari cantik yang siap memberikan kenikmatan, dibandingkan dengan buku karangan Choo Thomas, “Surga itu Nyata”, yang menggambarkan antara lain surga dengan emas dan permata, banyak buah-buah segar yang memuaskan, jelas jauh berbeda dalam menggambarkan surga. Mana yang benar? Tidak tahu! Jangan-jangan keduanya tidak ada yang benar, atau salah satu tidak benar, atau kedua-duanya benar, artinya memang ada surga yang berbeda. Hm.. entahlah, tidak tahu, dan mungkin memang tidak perlu tahu sekarang. Contoh yang paling mudah dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaktahuan umat beragama adalah dalam agama Kristen dan Islam. Dalam agama Kristen, orang-orang hanya tahu tulisan di kayu salib “INRI” (bahasa Yunani), tapi tidak tahu 2 tulisan lainnya, padahal jelas ditulis di Kitab Suci bahwa ada 3 tulisan masing-masing dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani. (Yohanes 19:20). Orang Kristen juga tidak tahu apa sebenarnya yang dilakukan Yesus di usia 12-30 tahun, karena Kitab Suci tidak mencatat kisahnya. Ada yang menduga Yesus pergi ke Tibet, ada yang menduga Yesus tinggal bersama orang tuanya di Nasareth, ada yang menduga Yesus belajar di Beth Midrash. Semua itu dugaan. Dalam agama Islam juga tidak jelas bagaimana akhir hidup Nabi Isa, setelah lolos dari penyaliban, karena menurut Al Quran, Isa tidak mati disalib. Jadi kalau ditanyakan kepada orang Muslim, bagaimana akhir hidup Nabi Isa, mereka tidak akan tahu, karena tidak ada tulisan mengenainya baik di Quran maupun di Hadits. Jika ada yang menjelaskan, itu juga hanya dugaan. Dalam agama-agama lainnyapun sama saja, ada beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan oleh doktrin dan dogma agama. Agama bukan jawaban atas semua ketidaktahuan umat manusia. Mungkin yang bisa menjawab hanya Tuhan, bukan agama. Namun, hidup dalam ketidaktahuan, juga pantas disyukuri, patut dinikmati. Jika semua hal harus diketahui, manusia akan mati dalam ke-penasaran-an. Ilustrasi yang diberikan oleh Sang Buddha, kepada seorang biksu yang hampir putus asa karena tidak mendapat jawaban atas beberapa pertanyaannya, cukup bagus untuk menunjukkan bahwa selama hidupnya manusia tidak harus mengetahui semua hal. Si biksu berkata, “Jika engkau dapat menjelaskan hal-hal ini, aku akan melanjutkan menjadi biksu, jika tidak, aku akan pergi.” Sang Buddha menjawab, “Apakah aku menjanjikan semua penjelasan ini ketika kau pertama kali bergabung dengan kami? Atau kau tetapkan sendiri bahwa kau harus mengetahuinya?” “Tidak”, jawab si calon biksu. “Kalau begitu dengarkanlah. Andaikan ada seorang terluka oleh anak panah. Sewaktu tabib tiba orang itu berkata, “Jangan tarik anak panah ini sampai aku tahu siapa yang menembakkannya, dari pohon apa panah ini dibuat, siapa yang membuatnya,dan jenis busur apa yang digunakan.” Orang ini tentu akan mati sebelum dia menemukan jawabnya. Mungkin benar, bahwa tidak semua hal harus kita ketahui, tapi yang perlu diingat adalah jika berada dalam kondisi ketaktahuan, tidak perlu bersikap seolah-olah tahu segala hal, karena itu adalah sikap yang tidak bijaksana. Ingat kembali, dialog antara ‘Ananda’ dengan Sang Buddha, ketika Andanda menganggap dirinya sudah tahu tentang Sang Buddha: ‘Ananda’ berkata kepada Sang Buddha, “Belum pernah ada guru sebesar engkau dan tak akan pernah ada seorang guru sebesar engkau di masa mendatang.” Sang Buddha lalu bertanya, “Apakah engkau mengenal semua yang telah mengalami pencerahan, para buddha di masa lampau?” “Tidak, Yang Mulia.” “Apakah engkau mampu mengetahui semua buddha di masa depan?” “Tidak, Yang Mulia.” “Dan apakah kau mengetahui sepenuhnya pikiran buddha yang satu ini?” “Tidak Yang Mulia. Aku bahkan tidak sepenuhnya mengetahui pikiranmu.” “Lalu, bagaimana mungkin engkau berani membuat pernyataan seperti itu? Lebih baik kau bicara hal yang engkau ketahui daripada menebak-nebak dengan bodoh.” (Majjhima Nikaya) Mari kita nikmati ketidaktahuan kita, namun jangan sampai terlena dalam kenikmatan ketidaktahuan, karena mungkin lebih nikmat jika tahu. Mari terus belajar, agar semakin banyak hal yang diketahui, dan kalau sudah tahu, mari di-share kepada sesama manusia, tanpa perlu menghakimi kepada yang belum tahu. Namun diperlukan kebijaksanaan, jika hendak men-share pengetahuan kepada orang lain, karena ada waktu untuk bicara, ada waktu untuk diam, ada waktu berkata-kata dan ada waktu untuk menahan diri dari berkata-kata, ada yang perlu disampaikan, ada yang tidak perlu disampaikan. Ada waktu untuk membaca, ada waktu untuk berkomentar, dan anda sudah membaca sampai bagian ini
Banyak yang masih belum tahu tentang sebuah ajaran kerokhanian SAPTA DARMA, dan banyak jg pertanyaan2 yang terlontar dari saudara2ku di Indonesia dari berbagai Agama…Apa yang di maksud SAPTA DARMA. Mereka hanya dapat mengartikan bahwa SAPTA DARMA adalah Tujuh kewajiban Suci….tapi apa sesungguhnya SAPTA DARMA mereka belum tahu betul. Di sini akan saya postingkan tulisan dari sobat/dulur ttg pengenalan dasar SAPTA DARMA.
SAPTA DARMA
Oleh : Muhammad Mahbub R
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dicapai oleh manusia modern dewasa ini sungguh sangat mencengangkan, khususnya pemenuhan manusia akan kebutuhan jasmaniahnya (dunia materi). Sedangkan kemajuan spritual ataupun kesempurnaan jiwa dan rohani tidaklah seimbang. Padahal rohani dan jiwa adalah motor penggerak daripada segala tingkah laku dan perbuatan yang tampak pada tindakan sehari-hari. Ketidak seimbangan tersebut membuat manusia menuju pada kehancuran.
Suatu kenyataan bahwa kepercayaan (kebatinan, kejiwaan dan kerohanian) bagi bangsa Indonesia telah merupakan suatu naluri dan dapat merupakan kebudayaan kita yang akhir-akhir ini dikalangan generasi muda kabur dan kurang mendapat perhatian, yang sebenarnya dengan jalan inilah manusia dapat memahami “rasa” daripada kehidupan itu sendiri.
Kerohanian Sapta Darma adalah suatu ajaran murni wahyu yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama yang nama aslinya bernama Bapak Hardjosapuro dari desa Pare, Kediri Propinsi Jawa Timur. Sapta Darma diturunkan untuk mengembalikan akhlak manusia dan memberikan pandangan kepada sekalian umat menuju kebudiluhuran. Menurut pendapat Dr. Suwarno imam S, Sapta Darma mempunyai tujuan untuk memayu hayuning bahagianya buana artinya membimbing hidup manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat ( mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani ).
Biografi
Aliran Kerohanian Sapta Darma adalah suatu ajaran murni wahyu yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama, yang nama aslinya adalah Bapak Hardjosapuro. Ia dilahirkan di desa sanding pare, Kediri Propinsi Jawa Timur pada tahun 1916 M.
Ajaran sapta darma pertama kali “diwahyukan” kepada Hardjosapuro pada tanggal 27 Desember 1952. ketika itu jam satu malam, tiba-tiba seluruh tubuh Hardjosapuro digerakkan untuk melakukan sujud. Gerakan sujud yang datang tiba-tiba, hal itu berlangsung hingga jam 5 pagi. Keeseokan harinya Hardjosapuro datang menemui teman-temannya untuk menceritakan kejadian tersebut. Sesampai dirumah temannya itu tiba-tiba ia bersama temannya digerakkan seluruh tubuhnya untuk melakukan sujud seperti kejadian sebelumnya. Kejadian seperti ini terulang terus setiap Hardjosapuro mendatangi teman-temannya yang lain, sampai ada enam orang temannya yang mengalami kejadian serupa.
Selanjutnya Hardjosapuro mendapatkan “wahyu” kembali untuk melakukan apa yang disebut racut, yaitu mengalami mati di dalam hidup. Dan diceritakan bahwasannya roh Hardjosapuro meninggalkan badan (wadag) naik keatas (alam lain). dan disana Hardjosapuro masuk kesebuah masjid yang besar dan indah disana ia melakukan sujud di tempat pengimaman, sesudah itu ia didatangi oleh orang yang bersinar-sinar (diangkat dan diayun-ayunkan) kemudian dibawa ke sebuah sumur yang airnya penuh. Sumur itu disebut sumur Gumuling dan sumur jolorundo. Setelah itu Hardjosapuro mendapatkan dua keris yang diberi nama Nogososro dan Bendosugodo, kemudian ia disuruh kembali dan akhirnya terbangun, hidup kembali. Kejadian ini dicatat dan ditetapkan terjadi pada tanggal 13 februari 1953, karena hal ini terjadi pada saat Hardjosapuro dan teman-temannya berkumpul di rumahnya.
Semenjak ia mendapatkan wahyu yang pertama, sudah mendapatkan gelar Resi Brahmono dari Tuhan, kemudian pada tanggal 27 desember 1955 gelar itu ditingkatkan lagi Sri gutomo, dan di pertinggi lagi menjadi Panuntun agung, sehingga gelar itu menjadi Panuntun agung Sri Gutomo. Akhirnya pada tanggal 16 deswember 1964 Hardjosapuro, sang Panuntun Agung meninggal dunia; jenazahnya kemudian dibakar dan dilarung (diceburkan) ke laut di dekat Surabaya. Selanjutnya pusat pimpinan sapta darma dipindahkan ke yogyakarta, bertempat di surokarsan bergandengan dengan candi agung yang bernama candi sapta rengga, setelah Panuntun agung Sri Gutomo meninggal dunia kepemimpinan digantikan oleh Panuntun Agung Sri Pawenang sebagai pimpinan selanjutnya sapta darma, yakni ia seorang wanita bernama Sri suwartini, salah satu lulusan Universitas Gajah Mada. Semenjak kepemimpinan sapta darma dipimpin oleh Sri Pawenang, perkembangan sapta darma semakin meningkat.
Ajaran
Ajaran sapta darma terbentuk setelah diturunkan wahyu dalam tahap beberapa kali, adapun wahyu-wahyu yang diterima adalah sebagai berikut :
1. Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara menyembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa.
Adapun cara melakukan sujud adalah sebagai berikut :
Sikap duduk, tegak menghadap timur. Bagi pria duduk bersila, kaki kanan didepan yang kiri. Bagi wanita bertimpuh. Tangannya ber sedakep, yang kanan didepan yang kiri. Selanjutnya menentramkan badan, mata melihat ke lantai ke satu titik di depannya kira-kira satu meter. Kepala dan punggung segaris lurus.
Setelah merasa tentram kemudian mengucapkan dalam batin “Allha hyang Mahaagung, Allah Hyang Maharahim, Allah Hyang Mahaadil.” Lebih lanjut, bila telah tenang dan tentram, terasa ada getaran di dalam tubuh yang merambat berjalan dari bawah ke atas. Kemudian ujung lidah terasa dingin kena angin (bahasa jawa pating trecep).
Selanjutnya rasa merambat ke atas ke kepala karenanya mata lalu terpejam dengan semdirinya. Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian mulai merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor. Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seraya mendorong tubuh membungkuk ke depan. Membungkukknya badan diikuti terus, sampai dahi menyentuh ke lantai, lalu di dalam batin mengucapkan, “Hyang Mahasuci sujud Hyang MahaKuasa”, sampai tiga kali.
Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan-lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula. Kemudian mengulang lagi merasakan seperti tersebut diatas, sehingga dahi menyentuh lantai yang kedua kalinya, lalu di dalam batin mengucapkan, “kesalahan Hyang Mahasuci mohon ampun kepada hyang MahaKuasa”, sampai tiga kali
Dengan perlahan-lahan kepala diangkat duduk tegak kembali, lalu mengulang merasakan lagi sampai dahi menyentuh lantai yang ketiga kalinya. Kemudian dalam batin mengucapkan, “Hyang mahasuci bertobat kepada Hyang MahaKuasa” sampai tiga kali. Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tenang untuk beberapa menit, kemudian sujud selesai.
Sujud dengan tiga kali membungkuk tersebut di atas disebut “sujud dasar” atau “sujud wajib”. Sujud ini harus dilakukan sedikit-dikitnya stu kali dalam dua puluh empat jam.
2. Wahyu Racut, maksudnya memisahkan rasa perasa (angan-angan, pikiran). Maka ruh manusia berangkat meninggalkan tubuh pergi menghadap Hyang Mahakuasa dan kemudian setelah menghadap, ia diperintahkan untuk kembali memasuki tubuhnya. Keadaan ini mengisyaratkan “mati sajroning urip”, mati dalam hidup. Yang mati adalah pikiran, angan-angan, kemauan, pokoknya dibekukan segala daya otak, sedangkan ruhnya melayang hidup menemui Allah. Dengan tujuan dapat mengetahui selagi masih hidup di dunia, bahwa nanti setelah mati ia akan bersama-sama dengan Hyang Mahakuasa.
Dengan artian yang mudah bahwasannya ajaran ini memuat perihal, tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.
3. Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.
Adapun simbol-simbol tersebut dipatrikan dalam sebuah gambar kombinasi segi empat, segi tiga, lingkaran-lingkaran dan vignette semar, serta memakai warna-warni yang mengandung arti simbolik.
4. Wewarah Tujuh , artinya tujuh ajaran (petunjuk) /sapta darma. Yang kemudian diadopsi menjadi nama dari pada aliran ini, yaitu Sapta Darma, yang mengandung arti tujuh kewajiban (kebajikan). Adapun Tujuh Kewajiban itu terperinci sebagai berikut :
1) Setia dan tawakal pada adanya pancasila Allah (Maha agung, maharahim, Mahaadil, Mahawawesa, dan Mahalanggeng).
2) Dengan jujur suci hati, harus setia menjalankan perundang- undangan negaranya.
3) Turut serta menyisingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya.
4) Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
5) Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
6) Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.
7) Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan).
Wewarah Tujuh merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam wewarah tujuh tersebut tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi selalu berubah-ubah (Anyakra Manggilingan).
5. Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning lian).
Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik.
Ajaran sapta darma menjelaskan tentang Tuhan sangatlah sederhana, sebagaimana dijelaskan oleh Sri Pawenang bahwa Tuhan juga disebut Allah. Sesungguhnya Allah itu Ada dan Tunggal (Esa). Allah memiliki lima sila yang mutlak, yaitu: Mahaagung, Maharahim, Mahaadil, Mahawawesa, dan Mahalanggeng.
Dilihat dari perspektif paradigma sinkretisme, ajaran keTuhanan seperti ini menyerupau jaran keTuhanan di dalam agama islam. Menurut ajaran ini, di dalam badan jasmani tersebar sinar cahaya Allah yang disebut rasa atau roh. Roh ini juga disebut roh suci yang dapat berhubungan dengan Allah, bahakan dapat bersatu dengan Allah. Dengan demikian ajaran sapta darma tentang tuhan dapat disebut “monisme panteistik”.
Ajaran tentang manusia dalam sapta darma digambarkan dalam bentuk symbol (lambang), yaitu simbol sapta darma (simbol pribadi manusia). Dan dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahwa asal terjadinya manusia dari sinar sahaya Allah yang disebut hyang Mahasuci (roh suci) dan sari bumi yang terdiri dari sari sperma bapak dan sari telur ibu.
2. Bahwa pada badan jasmani manusia terdapat sembilan lubang udara, yakni dua di mata, dua di telinga, dua di hidung, satu di mulut, satu di dubur, dan satu di kemaluan.
3. Bahwa hidup manusia senantiasa berubah ubah, seperti roda berputar. Karena manusia setiap harinya makan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan dari binatang yang mengakibatkan timbulkan getaran yang jahat.
4. Badan jasmani manusia dilengkapi dengan empat nafsu, yaitu lawwamah, amarah, suwiyah, dan mutmainah.
5. Bahwa gambar semar merupakan inti di dalam symbol sapta darma, yakni sebagai symbol budi luhur dan NurCahya atau Hyang Mahasuci yang memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Allah Yang Mahakuasa.
6. Bagian rohani manusia di samping Hyang Mahasuci, juga dilengkapi dengan sebelas saudara, sehingga semuanya menjadi 12 saudara, yaitu: (1) Hyang Mahasuci, (2) Premana, (3) Jatingarang, (4) Gandarwaraja, (5
7. Hidup manusia menurut ajaran ini dipengaruhi oleh tiga getaran, yaitu getaran dari tumbuh-tumbuhan, getaran dari binatang, dan getaran dari cahaya Allah. Getaran dari tumbuh-tumbuhan dan binatang mempunyai pengaruh yang buruk terhadap kehidupan manusia, karenanya manusia harus teliti dalam mengkonsumsi makanan, agar getaran-getaran itu hanya dikuasai oleh cahaya Allah, yaitu getara-getaran yang sempurna.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya asal manusia terdiri dari, yaitu: Sinar cahaya Allah, air sari dari bapak dan air sari dari ibu. Air sari tersebut berasal dari sari bumi. Yang oleh ajaran ini disebut juga “Tritunggal”.
Konsep Mistik menurut sapta darma masih berhubungan dengan penjelasan di atas, dengan artian. bahwasannya Getaran sinar cahaya Allah itu kemudian bersatu padu dengan getaran air sari dan berjalan secara halus merambat ke seluruh tubuh. Bila telah memusat di ubun-ubun akan berwujud nur putih, akhirnya naik bersatu menghadap hyang Mahakuasa untuk menerima petunjuk berupa isyarat.
Persatuan antara Hyang Mahasuci (nur putih) dengan Hyang Mahakuasa dapat dicapai dengan jalan sujud, yaitu sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan. Karenanya, sujud itu tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa memburu lekas selesai. Yang mana apabila melakukan sujud itu dengan kesungguhan akan menuntun jalannya air sari dari sinar cahaya Allah, yang meliputi seluruh tubuh hingga sampai ke sel-selnya.
Persatuan yang dilakukan, bukan saja dengan jalan sujud akan tetapi disamping itu dapat dilakukan dengan cara Racut. Racut berarti memisahkan rasa dari perasaan, dengan tujuan menyatukan roh suci dengan sinar sentral. Jadi racut dapat digunakan untuk menghadap Hyang Mahasuci ke hadirat Hyang Mahakuasa. Jadi selagi manusia masih hidup di dunia ini, ia dapat menyaksikan tempat dimana kelak bila kita kembali kea lam abadi atau surga. Dengan demikian, benarlah kata-kata manusia harus dapat mati dalam hidup, supaya dapat mengenal (mengerti) rupa dan rasanya. Maksudnya yang dimatikan adalah alam pikirannya, sedang rasanya tetap hidup. Maka, sewaktu racut, manusia dapat mengetahui rohnya sendiri naik ke alam abadi (akhirat atau surga) menghadap Hyang Mahakuasa. Dan rohnya dapat mengetahui jasmani yang ditinggalkan sementara terbaring di bawah.
Racut dilakukan setelah sujud wajib, kemudian sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan, yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin. Dan mengingat racut adalah perbuatan yang sulit, maka diperlukan latihan yang penuh kesabaran, ketelitian, kesungguhan, serta ketekunan. Hasil dari melakukan racut dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki kewaskita-an (kewaspadaan) yang tinggi. Konsep Sujud dan Racut itu merupakan jalan Mistik dari ajaran ini.
Kesimpulan
Adalah suatu keanehan menurut Rahnip M.B.A. Bahwa ajaran ini memiliki berbagai macam perpaduan porsi yang beragam, mulai dari Agama, ajaran-ajaran, kebudayaan/tradisi serta filsafat yang telah ada sebelum munculnya ajaran ini. Bahkan ada yang tidak mungkin diterima oleh khalayak manusia, misalnya mengenai ajaran Racut.
Adapun menurut para pendirinya, pokok dari ajaran ini ada, karena desakan keadaan, yang mana keadaan pada waktu menuntut manusia untuk mengolah rasa atau juga disebut Nilai-nilai Spiritual. Dengan begitu manusia dapat mencapai kebahagiaannya dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Karena mampu mengolah keadaan jasmani dan rohaninya.
Pada akhirnya toh ajaran ini dapat tersebar dengan begitu luasnya, betapa. Tidak mungkin hal ini dapat terjadi kalau bukan karena prestasi atau kebenaran daripada ajaran sapta darma ini. Itupun bagi yang percaya, bagi yang tidak percaya, cukup dengan mengetahui ajaran ini dan tidak perlu merusaknya. Kita pun sudah tahu bahwa ajaran yang tidak benar akan hilang dengan sendirinya, cepat atau lambat.
Daftar Pustaka
Rahnip, M.B.A. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan (Indonesia: Pustaka Progresif, 1997).
Suwarno imam S, Dr. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai kebatinan Jawa (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005).
Bermula dari ngobrol tentang pertemuan Kawruh Jiwa yang terpaksa tidak bisa saya hadiri, dan mengingat kembali diskusi dengan beberapa teman beberapa waktu yang lalu, agak lama saya googling untuk mencari tahu arti “gama”. Sekian lama saya memahami bahwa agama berasal dari kata a dan gama. Sekian banyak halaman website, memberi informasi bahwa GAMA artinya kacau, bergerak, berubah, dan semacamnya. Agama diartikan TIDAK kacau, karena “a” =tidak.
Benarkah itu? Benar, jika mengacu pada banyak sumber di internet. Tetapi apakah yang banyak memang selalu benar? Belum tentu.
Ternyata, harapanku menemukan arti lain dari “gama’, terjawab juga. Saya temukan tulisan yang menyebutkan bahwa gama berasal dari bahasa Jawa (kuno) artinya PERATURAN. Ber-gama, menjalankan gama, atau agama artinya “ber-peraturan”, atau “memiliki peraturan” atau “memenuhi peraturan”. Kata “a”disini bukan berarti TIDAK, melainkan sebuah “sandangan” yang berarti “memiliki”.
Apakah benar bahwa kata “a” bukan berarti “tidak”?
Ya.. ada sebuah lagu berbahasa Jawa yang ada kata “asukarena“-nya,berasal dari kata a + sukarena, artinya MEMILIKI KESUKAAN/keceriaan.
Contoh lain, ada kata ateges berasal dari kata a + teges,artinya MEMILIKI MAKNA atau MEMILIKI ARTI.
Jadi, make a sense juga ketika kata “a”, bukan berarti tidak,melainkan “memiliki” atau “ber”
OK, nampaknya saya harus rela meninggalkan pemahaman yang lama bahwa agama artinya tidak kacau. Bahwa “makna” tidak kacau dengan “ber-peraturan” itu hampir sama,namun dalam studi kata, tentu tidak bisa dipandang sama begitu saja.
Jika agama artinya memiliki peraturan, artinya ada tatacara, ada norma, ada “pakem”, ini dapat menjelaskan mengapa simbol pencapaian spiritual tertinggi dalam kepercayaan “kuno” adalah LINGGA dan YONI. Lingga (penis) dan yoni (vagina), melambangkan HUBUNGAN SEKSUAL antara PRIA dan WANITA (maaf.. homoseksual dan lesbian tidak diperhitungkan, hahaha).
Kami pernah diskusi soal hubungan sexual sebagai lambang puncak pencapaian spiritual. Saya sudah agak lupa, tapi kalau tidak salah, hubungan seksual adalah syarat dari PROKREASI (bukan rekreasi lho..), itu adalah syarat terjadinya KEHIDUPAN, jadi sexual intercourse adalah awal mula (sangkaning dumadi). Tentu, yang dimaksudkan bukan soal ORGASME-nya, namun adanya pertemuan sperma dan sel telur, sebagai awal mula kehidupan.
Walau orgasme adalah puncak pencapaian hubungan seksual, namun inti hubungan seksual bukan orgasme-nya, tetapi mempertemukannya sperma dan sel telur sebagai bahan pembentuk keHIDUPan. HIDUP, adalah inti dari semua perjalanan pengembaraan setiap mahkluk di alam semesta ini. Kita bisa melakukan apapun, karena kita (masih) HIDUP.
(tentu kemajuan teknologi untuk merekayasa kehidupan,misalnya bayi tabung, kloning, dsb, akan mengacaukan filosofi ini).
Hubungan seksual, dalam bahasa Jawa disebut SANGGAMA (senggama), menjadi make a sense, bahwa sanggama yang dilambangkan lingga dan yoni, adalah lambang pencapaian spiritual tertinggi. (Ingat kata agama, yang berarti “memiliki peraturan”)
Agama, yang dimaknai “memiliki peraturan”, adalah sebuah “kata benda”, sebuah keadaan (spiritual) yang hendak dicapai manusia dalam hidupnya. Orang ber-agama, adalah orang yang TERATUR, TERTIB, bukan yang hidup SEMAUNYA, demikian juga SANGGAMA, sebuah lambang (awal) KETERATURAN (kehidupan) ini.
Teratur atau tertib untuk apa? Untuk mencapai tingkatan spiritual yang tinggi. Dalam kepercayaan Jawa, untuk mencapai manunggaling kawula gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan. Tanpa keteraturan dan ketertiban, tingkat spiritual yang tinggi mustahil dapat dicapai.
Manunggaling kawula gusti ini-pun dipahami bermacam-macam. Dari pemikiran Syeh Siti Jenar, manunggaling kawula gusti dapat diartikan bahwaTuhan menyatu dalam diri manusia, sehingga dalam diri manusia ada “unsur” ke-Tuhan-an. Ketika Tuhan ada dalam diri manusia (diri sendiri), kemudian dipahami secara ekstrim, tidak perlu menyembah Tuhan yang ada di “sana”, karena dalam diri sendiri sudah ada Tuhan. Paham ini mirip dengan paham gnostik, yang mengajarkan bahwa manusia adalah ‘pecahan yang maha kuasa”, ada unsur Tuhan dalam diri manusia.
Namun pemahaman “tidak perlu menyembah Tuhan” ini sebenarnya keliru juga, karena dalam filsafat Jawa, ada ungkapan, “pangeran iku ana ing awakmu, nanging aja pisan-pisan nganggep awakmu iku pangeran” (Tuhan itu ada didalam dirimu, namun jangan sekali-sekali menganggap dirimu itu Tuhan.) Artinya orang Jawa masih tetap memahami bahwaTuhan adalah sesuatu yang ilahi yang JUGA ada di luar diri manusia. Orang Jawa tidak menggambarkan Tuhan sebagai SOSOK tertentu, namun hanya memahamiNYA sebagai “sangkan paraning dumadi” –asal dan tujuan semua yang ada–, yang tidak bisa dibayangkan, namun (DIA itu) ADA. Tan kena kinaya apa, tan kena winirasa; tidak bisa dibayangkan serupa dengan sesuatu, tak bisa dirasakan. Cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan; dekat tanpa bersinggungan, jauh tanpa batas.
buah inspirasi dari diskusi di junggringan sore hari adalah: “Orang2 mengumpat dan menyumpahiNYA, DIA diam…. orang2 bersorak-sorai memujiNYA, DIA diam…orang2 diam tak mempedulikanNYA, DIA juga diam, apakah TUHAN itu MAHA DIAM?”
Beberapa komentar muncul atas status itu, bahkan ada yang menganggap aku “maha protes” hm.. yang betul aku itu (maha) petrus… hahaha….
Benarkah TUHAN itu Maha Diam? Kalau DIA memang Maha Kuasa, mestinya DIA juga berkuasa untuk DIAM, dan kalau TUHAN diam, sudah tentu DIA MAHA DIAM, karena selalu DIA itu sangat-sangat-sangat LEBIH dibandingkan dengan manusia.
Aku punya kuasa, DIA Maha Kuasa, aku bisa hadir di suatu tempat, DIA Maha Hadir, kadang aku hidup suci, Dia Maha Suci, aku kadang juga baik hati, DIA Maha Baik, aku kadang diam, DIA Maha Diam.
Aku jadi ingat cerita adikku tentang seseorang yang jengkel karena mangga di rumahnya selalu dicuri orang, dan pemilik pohon mangga itu tidak dapat menangkap basah pencurinya. Pemilik pohon mangga menuliskan kata-kata di sebuah papan dan ditempel di pohon mangganya, “Walau tidak ada orang lain yang tahu, TUHAN sudah tahu siapa yang mencuri mangga-manggaku”
Si pencuri ternyata juga berpikir bahwa TUHAN Maha Diam, dan dia juga menempelkan kertas di bawah tulisan sang pemilik pohon mangga, dengan tulisan tangan seorang pencuri, TUHAN memang tahu, tapi DIA tidak memberitahu siapapun”
Dan aku tidak tahu siapa pemilik pohon mangga itu, apalagi pencuri mangganya.
Dan baru saja ada seseorang yang men-chat aku dan bertanya,
“sebenarnya yang perlu ditanyakan ke diri kita, jangan2 bukan Tuhan diam, tp bisa jadi kita yang tuli tur budek, sehingga tidak mampu mendengar suara Tuhan”
aku jawab:
“@Mas Wiyanto; hm.. gitu ya boleh, tapi jangan2 memang Tuhan DIAM, dan orang-orang saja yang sok mendengar suara Tuhan, padahal itu suara setan atau tidak ada suara sama sekali.. alias cuma rungon-rungonen…”
Teguh Pramono:
Tetapi sebenarnya bukan Tuhan yang butuh kita tapi kitalah yang butuh Dia…apa si yang kita bisa…bikin pasir aja ga bisa…bisanya ya ngeruk pasir eh tahu2 pasir dicampur semen terakhir jadi rumah…dan kita bisa tidur, makan, belajar, dsb dirumah itu…apa Tuhan diam, kalau ternyata ada pasir?
aku jawab:
@Teguh Pramono; ilustrasimu bagus.. aku jadi berpikir, sebenarnya kita butuh pasir, bukan Tuhan hahaha…
Banyak tafsir tentang “agama budi”, dan saya juga berhak memberi makna terhadapnya, sesuai dengan pemahaman saya saat ini. Agama budi, bukanlah agama dengan format seperti agama-agama besar yang selama ini “menguasai” umat manusia dengan doktrin dan dogma yang diturunkan dari Kitab-kitab (yang dianggap) suci, yang dianggap/diyakini berisi perkataan Tuhan. (dan jelas, semua “kitab suci” itu IMPOR dari bangsa lain)
BUDI artinya PIKIRAN, ini tentang JIWA dan KESADARAN. Kesadaran manusia akan kemanusiaannya. Kesadaran bahwa manusia menjadi ada karena “diadakan” oleh YANG SUDAH ADA (almighty god) diluar diri manusia. (karena tidak mungkin ada berasal dari ketiadaan). Ini jelas bukan atheisme (anti Tuhan), tetapi juga bukan ber-Tuhan dengan cara (ritual-ritual) seperti yang diajarkan oleh agama-agama mainstream.
Orang Jawa memahami Tuhan sebagai “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan dari semua yang ada), yang “tan kena kinaya apa, tan kena winirasa” (tidak bisa diserupakan dengan apapun, tak bisa dirasakan –dengan panca indra); yang “adoh tanpa wangenan, cedhak datan senggolan” (jauh tanpa batas, -namun- dekat tanpa bersinggungan).
Konsepsi bahwa manusia itu “sangkan-e” (berasal) dari Tuhan dan “paran-e” (–akan– kembali) kepada Tuhan, karena menyadari bahwa manusia adalah bagian dariNya, atau ada “Dia” dalam diri manusia, namun manusia BUKAN Dia. (pangeran iku ana ing awakmu, nanging awakmu iku dudu pangeran).
Dalam diskusi dengan salah seorang “bangkokan” Kawruh Jiwa (Kawruh Jiwa adalah ‘ajaran’ Ki Ageng Suryamentaram), ketika saya bertanya tentang “awal segala sesuatu”, disebutkan bahwa awal segala sesuatu adalah KEHENDAK (karep), dan ketika saya kejar dengan pertanyaan, “kehendak itu apa?”. Jawabnya: “Kehendak itu ADA, SANG ADA”.
(sebagai orang yang mempelajari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, saya meng-amin-i pendapat itu, karena di Kitab Yohanes 1:1 ditulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Elohim dan Firman itu adalah Elohim.”, dan saya bisa memahami bahwa Firman = Kehendak, dan Kehendak itu ADA, dan (Sang) ADA = Elohim itu sendiri.)
Benarkah SANG ADA itu adalah Elohim (Tuhan, sesembahan, yang patut disembah)?
Jika kita lihat dalam Kitab Keluaran (Perjanjian Lama), dikisahkan ketika Nabi Musa bertemu muka dengan Tuhan, dan bertanya kepadaNya, “Siapakah Engkau Tuhan?”, Tuhan menjawab, “Ehyeh Asyer Ehyeh” (AKU ADA YANG AKU ADA. — yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia secara kurang tepat menjadi “AKU ADALAH AKU”) — bahwa kemudian “SANG ADA” ini disebut dengan tetragramaton “YHWH”, itu soal “nama” (bahasa), bukan esensi dari “SANG ADA” itu. Sebab nama bukan yang dinamakan.
Tentang YANG ADA (SANG ADA) ini juga terkonfirmasi dalam Kitab Wahyu 1:4 (Perjanjian Baru), Rasul Yohanes menyebutkan: “dari Dia, YANG ADA dan YANG SUDAH ADA dan yang akan datang” (kata “yang akan datang”, dapat saya ganti dengan “YANG AKAN ADA”).
Dalam Kawruh Jiwa, KESADARAN diwujudkan dengan memahami “AKU” (aku tukang nyawang), disamping KRAMADANGSA (tubuh/badan dan semua keinginan badaniah/jasmani). Kesadaran akan “AKU” itu yang akan menuntun kepada kesadaran (berikutnya) tentang hidup dan kehidupan manusia, yang secara singkat dikonsep dalam Kawruh Jiwa dalam prinsip hidup 6-SA (SAbutuhe, SAcukupe, SAperlune, SAbenere, SAmestine dan Sapenake). Sayangnya 6 SA ini sering disalah mengerti maknanya oleh orang-orang di luar komunitas Kawruh Jiwa, khususnya di SA yang ke-enam “SApenake”. Dianggap orang-orang Kawruh Jiwa memiliki pandangan bahwa hidup itu “seenaknya saja”. Padahal bukan begitu maksudnya, karena Ki Ageng Suryamentaram mengajarkan bahwa “penak iku yen ngepenakke liyan” (enak itu jika meng-enak-kan liyan/pihak lain), jadi bukan seenaknya saja, tanpa memperhatikan ‘enak’nya liyan.
Dalam Kejawen, KESADARAN tertinggi dicapai ketika manusia dalam kondisi “MANUNGGAL KALIYAN GUSTI”, oleh sebab itu “manunggaling kawula gusti” menjadi visi dalam olah Kejawen. Jika sudah manunggal, maka “pangeran ana ing awakmu” benar-benar dapat dirasakan. Sudah barang tentu, jika “manunggal dengan pangeran”, maka manusia akan memancarkan sifat dan sikap (dari) SANG ADA (pangeran), karena telah menjadi bagian dari SANG ADA sendiri.
Dalam agama Buddha, KESADARAN TERTINGGI, adalah hal yang hendak dicapai dari seluruh laku spiritual. Simbolisme pencapaian spiritual, dilambangkan dengan baik melalui relief yang ada di Candi Borobudur, mulai tingkat pertama KAMADATU, RUPADATU, hingga ARUPADATU (kekosongan) di puncak. Arupadatu adalah gambaran Nirvana menurut ajaran Buddha, dimana di sana tidak ada nafsu dan keinginan.
Kamadatu dan rupadatu, jika dihubungkan dengan konsepsi di Kawruh Jiwa, merupakan bagian dari Kramadangsa, yang seharusnya tidak mengendalikan hidup manusia, namun justru harus dikelola, sehingga sebagai manusia yang hidup bersama manusia lain (dan alam semesta), menjadi baik, nyaman, bahagia. Karena, ketika karep (keinginan – nafsu) yang mengendalikan, yang terjadi adalah kekacauan, ketakbahagiaan, yaitu ketika keinginan seseorang bertemu dengan keinginan yang berbeda dari orang lain, jadinya “sulaya”. Sebab, pada tingkat “kramadangsa” setiap manusia berbeda keingingannya, kesamaan manusia ada di tingkat “aku”, yang didalam Kejawen “aku” itu adalah bagian dari pangeran (SANG ADA). Semua manusia sama, dan karenanya disebut SESAMA, karena sama-sama menjadi bagian dari SANG ADA.
Manusia yang membenci, atau memusuhi SESAMA MANUSIA, adalah karena TIDAK SADAR, bahwa ada DIA yang SAMA, yang ada didalam diri tiap-tiap manusia.
Mengutip kata-kata Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma:
“Manusia yang masih terikat oleh tindakan menemukan Tuhan dalam api upacara, manusia yang masih terikat perasaan menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kesadarannya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang telah terbangun kesadarannya menemukan Tuhan di mana-mana.”
Tuhan, Dia ADA dimana-mana, dimana terdapat “ADA”, disitu ada DIA, bahkan dia ADA dalam KETIADAAN, (karena sesungguhnya ketiadaan itu tidak ada, ketiadaan adalah juga kondisi ada, yaitu ada ketiadaan, hahaha….).
Akhir kata, ketika agama dan berbagai doktrin dan dogma serta ritual-ritualnya ternyata tidak mampu membuat kehidupan ini lebih baik, nampaknya KESADARAN bahwa DIA ADA, dan ADA DIMANA-MANA, itu cukup untuk mengendalikan hidup dan kehidupan kita bersama, ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan hidup bersama alam.
Singkatnya begini, ketika kita SADAR bahwa DIA ADA (dan DIA ADA DIMANA-MANA), misalnya:
Apakah kita akan berbuat jahat kepada manusia lain?
Apakah kita akan semena-mena terhadap alam?
Apakah kita akan melanggar norma-norma?
Apakah kita akan menyia-nyiakan hidup?
Apakah kita akan mengasihi sesama?
Tidak perlu repot dengan tata-cara ibadah, tidak perlu repot menentukan arah kemana kita menghadap DIA, karena DIA ada DIMANA-MANA, tidak perlu repot dengan perangkat pengeras suara dan mengatur volume suara “doa”, karena DIA juga ada di hati kita. Tak perlu repot jauh-jauh pergi untuk datang ke rumahNYA, karena DIA juga ada disini. Tak perlu repot menjadi pembelaNYA, dengan menyalahkan orang lain, karena DIA juga ada didalam diri orang lain itu. Tak perlu repot (ijin) mendirikan “rumah ibadah”, karena ibadah kita dapat dilakukan dimana saja, kapan saja. Kalaupun “rumah ibadah” dibangun, mungkin perlu untuk menyediakan tempat berdiskusi tentang kehidupan yang lebih baik, bukan tempat untuk mengajarkan doktrin/dogma atau tempat menjalankan ritual-ritual yang dianggap paling berkenan bagi DIA, yang memanipulasi PIKIRAN kita, seolah-olah untuk beribadah seperti itulah kita hidup di dunia ini.
DIALAH SANG ADA yang SUDAH ADA, ADA dan AKAN TETAP ADA, dan SANG ADA itu ada DIMANA-MANA, milik semua orang YANG SADAR.
(tidak sepakat ya boleh, dan silakan melanjutkan hidup dengan agama beserta doktrin/dogma dan ritual-ritualnya, dan maaf, saya kurang tertarik mengikutinya,– walau kadang kesadaran saya juga rendah, bahkan kadang tidak sadar bahwa DIA ADA DISINI.)
Petrus Wijayanto (PWijayanto Wit)
Salatiga, 7 November 2010
lanjutan Note ini: “Sabdo Palon, Islam Jawa, dan Merapi” di http://www.facebook.com/note.php?note_id=454326153550